Translate

Minggu, 13 Januari 2013

Found You In Seoul part 2


Guyyyyssssss... kali ini gue comeback ama FOUND YOU IN SEOUL PART 2! penasaran? kekeke :D
“Na Na...,”. tegur appa di ruang makan. Dan gue tau, eomma pasti udah cerita semuanya ke appa.
            “Appa sudah dengar semua yang eomma kamu katakan. Tentang surat itu, besok appa akan ke sekolah kamu,” kata appa dengan bahasa Indonesia yang jelas, namun masih beraksen Korea.
            Dingin. Kembali tangan ini dingin mengingat kejadian di kantor. Gue udah mikir keras seharian ini setelah nyerahin surat itu ke eomma. Gue bingung. Walaupun gue itu usil, tapi gue nggak pernah melakukan kerugian yang amat besar kepada orang lain. Trus, alasan apa yang menyebabkan orang tua gue dipanggil ke sekolah? Gue nggak bisa ngebayangin gimana hari selanjutnya setelah surat itu. Huft, kali ini gue harus tenang untuk menghadapi besok.
……………
            Dan kali ini gue masuk ke ruang wakil untuk kedua kalinya. Ketika masuk ke ruangan itu, gue ngeliat appa udah duduk disana  dengan serius.
            “Oh, Park Na Na, ayo silahkan duduk disini,” ujar wakil kesiswaan  di sekolah gue. Kali ini gue lega, karena bapak itu tersenyum manis ke gue.
            Gue duduk, dan kembali memandang lantai seperti yang gue lakukan pertama kali waktu masuk ke ruangan ini. Oh Tuhan, apa sih yang udah gue perbuat sampai orang tua gue bisa dipanggil ke ruangan ini? Apa gue bakal di skors? Atau lebih parah lagi. Dikeluarin dari sekolah? Nggaakkk! Itu nggak boleh terjadi!
            “Park Na Na,” tegur pak Herman, wakil kesiswaan SMA Taesan.
            “Oh, iya pak,” gue kembali terbangun dari lamunan gue yang mengerikan.
            “Kamu tau, kenapa orang tua kamu dipanggil ke sekolah?” tanya pak Herman dengan matanya yang tajam.
            “Hmm, maaf pak saya tidak tahu,” jawab gue pasrah.
            “Baiklah. Seperti yang sudah saya katakan kemarin kalau sekolah terus memantau perkembangan nilai-nilai kamu itu dari kelas X.  Kamu masuk ke sekolah ini sebagai 50 siswa terbaik yang lulus tes. Dan dari kelas X, kami memperhatikan nilai kamu pada mata pelajaran bahasa asing yang selalu meningkat kecuali pada mata pelajaran bahasa Itali. Kamu harus lebih giat belajar lagi, untuk meningkatkan nilai kamu di mapel itu. Kamu mengerti?” pak Herman bertanya dengan nada yang biasa namun masih dengan tatapan yang tajam.
            “Me..., mengerti pak. Saya akan berusaha untuk meningkatkan nilai saya di mata pelajaran bahasa Itali.
            “Namun, kamu benar-benar berbakat di mata pelajaran Prancis, Jepang, Mandarin dan Korea,” pak Herman memperbaiki letak kacamatanya.
            Gue berusaha menebak kemana arah pembicaraan ini, tapi gagal.
            “Dengan nilai kamu yang tinggi itu, sekolah mempertimbangkan kamu untuk menjadi satu-satunya siswa pertukaran pelajaran perwakilan dari Taesan Internatioanal School. Pertukaran pelajaran ini akan diadakan selam 1 bulan di Korea. Kamu akan bertemu berbagai siswa dari berbagai negara,” jelas pak Herman.
            Oh Gosh! Gue jadi siswa pertukaran pelajar? Mimpi apa gue semalam? Kenapa gue nggak nyadar kalo selama ini sekolah memperhatikan nilai gue? Tapi biarin, yang penting gue nggak diskors, apalagi dikeluarin.  Kyaa... Korea, gue kembali!
……………
            “Serius lo Na?” Tika, Gina, dan Miranda berbicara serentak.
            “Hu uh,” jawab gue sambil memasukkan beberapa bakso sekaligus ke mulut gue dan mengunyahnya dengan kejam. Gue yakin, kalo bakso-bakso tak berdosa ini bisa ngomong, mereka pasti bakal teriak-teriak. Tapi itulah tujuan dibuatnya makanan. Makanan itu buat dikonsumsi. Bener kagak?
            “Lo keren!” ujar Tika dengan semangat.
            “Entar, kasih kita oleh-oleh ya,” ujar Miranda.
            “Oh ya, gue pengeen banget makan kimchi yang berasal dari Korea lansung. Bawaiin dong,” pinta Gina.
            “Ok! Tapi, gue nggak habis pikir. Gue kira, gue itu bakal di skors,” ujar gue menyantap siomay karena baksonya udah abis. Yah, maklumlah. Tekanan mental yag ngebuat gue makan buanyak kayak gini. Hehe...
            “Itulah yang namanya takdir,” ujar Tika, Gina, dan Miranda bersamaan (lagi).
Gue bingung, tuh anak bertiga kok bisa barengan terus ya ngomongnya. Mungkin bener juga kata mereka. ‘Itulah yang namanya Takdir’.
*Bersambung